Tuesday, May 31, 2016

Ketua IGI : Mari Kita Bangun Kolaborasi Pendidikan Bukan Kompetisi

         Menyambut hari Pendidikan Nasional, tanggal 02 Mei lalu, pidato Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) ini membangunkan kesadaran kita tentang mitos-mitos yang  terjadi seputar kompetisi di dalam dunia pendidikan . Hal senada pernah juga disampaikan oleh seorang penulis buku "Bakat Bukan Takdir", bernama Andrie Firdaus dan Bukik Setiawan. Hasil karya kolaborasi ini justru melahirkan tulisan yang cemerlang, diisi juga  tentang pandangannya terhadap mitos-mitos kompetisi yang sering terjadi di dalam dunia pendidikan kita. Semoga dengan membaca isi pidato dari Ketum IGI dan pandangan praktisi pendidikan ini, merubah persepsi kita terhadap kompetisi-kompetisi yang justru membuat bangsa Indonesia semakin terpuruk. Namun dengan semangat kolaborasi kita mampu bangkit dan berkembang bersama yang justru melahirkan sebuah  bangsa yang berkualitas dan bermatabat. 
Mari kita simak isi singkat pidato ketum berikut ini;

Bertahun-tahun lamanya dunia pendidikan kita dibangun dengan kompetisi, hingga peringatan HARDIKNAS puluhan kali, dunia pendidikan kita terus menerus dibangun dengan semangat kompetisi.

Bukan hanya siswa, guru pun dipaksa untuk berkompetisi, berbagai ajang dibuat untuk mempertarungkan guru dan kemudian lahirlah guru hebat satu atau dua orang dan disaat yang sama lahirlahlah pula jutaan guru yang terkalahkan.

Lihatlah ajang Guru Berprestasi yang biasa kita sebut Gupres, begitu banyak yang bangga karena terpilih menjadi Gupres kabupaten/kota, begitu banyak yang merasa hebat karena menjadi Gupres provinsi dan sedikit guru yang merasa luar biasa karena menjadi Gupres Nasional.

Mereka hebat karena menjatuhkan begitu banyak guru lainnya, banyak yang bangga pada mereka tapi tahukah kita bahwa jutaan guru telah menjadi “guru terkalahkan” mereka telah kehilangan kepercayaan diri karena tak memegang label “guru berprestasi” bahkan mereka datang ke sekolah tertunduk malu karena berstatus “kalah”

Lihatlah siswa-siswa dulu dengan status “rangking” mereka yang rangking satu begitu bangga tapi ada puluhan siswa yang terkalahkan di kelas tersebut, mereka tak bisa bangga karena dihadapan mereka ada “sang rangking satu”.

Bukankah dibelakang hari banyak diantara mereka yang “bukan rangking” tapi sukses luar biasa. Mungkin Rudi Hartono, Rudi Chaeruddin dan Rudi Hadisuwarno tak akan sehebat itu jika mereka dipaksa harus menjadi “rangking 1”.

Karena mereka memiliki kemampuan spesifik yang tak mungkin dipaksa menjadi rangking satu. Olimpiade sains nasional begitu minim melahirkan orang hebat, mengapa?. Karena hanya sedikit orang yang berstatus “Juara” dan lainnya berstatus “terkalahkan”.

Isu globalisasi memang telah memaksa kita untuk berkompetisi dan kita larut didalamnya sehingga pendidikan kita hanya melahirkan sedikit orang hebat dan sebagian menjadi pecundang bahkan banyak dari mereka sukses bukan karena sekolah tapi mereka sukses karena sesuatu di luar sekolah seperti minat, bakat dan lingkungan yang boleh jadi hal-hal seperti ini telah terkalahkan di Sekolah

Kini kita lumayan memahami mengapa tak ada lagi “rangking” di Sekolah bahkan kini, nilai pun harus dideskripsikan, tapi pendidikan kita masih belum meninggalkan kompetisi, faktanya, institusi-institusi pendidikan dan pemerintah masih sibuk dengan berbagai kompetisi menjelang momentum tertentu.

Mengapa kita tidak mendorong siswa Indonesia untuk semuanya menjadi “Juara”, mengapa kita tidak mendorong guru-guru Indonesia untuk semuanya menjadi “Juara” bukan mendudukkan mereka mayoritas pada posisi “terkalahkah” sehingga guru tertunduk malu bertemu dengan siswanya karena berstatus “terkalahkan” sementara siswa tertunduk malu dihadapan gurunya katena tak mampu menjadi “Juara”

Kompetisi akan melahirkan persaingan dan persaingan menjadi juara akan membuat manusia cenderung menggunakan segala macam cara untuk “menang”, mereka yang juara tak akan mau berbagi dengan yang lain karena takut “terkalahkan” sehingga yang terjadi adalah sebagian dari kita menjadi superior dan mayoritas dari kita menjadi imperior.

Sekolah-sekolah”juara” tak akan mau berbagi dengan sekolah-sekolah “terkalahkan” karena mereka takut, rahasia sukses mereka terkuak dan akhirnya terkalahkan

Jika kompetisi terus didorong, maka guru-guru terbaik di Jawa tak akan rela guru-guru di Papua menjadi hebat karena takut suatu ketika terkalahkan.

Pemerintah bisa saja mengubah sistem kompetisi kita dan mulai membuat “STANDAR JUARA” sehingga bukan hanya satu atau dua orang guru yang BISA berstatus Juara tapi SELURUH Guru bisa saja berstatus juara.

Contoh paling sederhana adalah Tahfidz Al Quran. Kita tak perlu mencari satu yang terbaik dari seluruh santri tapi cukup dibuat standar “siapapun yang mampu menghapal 30 Jus dengar tartil yang benar maka dia adalah “Juara”.

Mengapa pemerintah tidak membuat OSN dengan standar tertentu sehingga semua siswa yang mampu mencapai level tersebut adalah “juara” bahkan mereka yang level tingkatan kelasnya masih dibawah juga bisa “juara” tanpa harus mengalahkan siapapun juga.

Mengapa demikian, karena sistem ini akan menumbuhkan kolaborasi, siswa akan saling mendukung, saling berbagi, saling menyemangati untuk bersama-sama menjadi juara.

Guru-guru kita akan berkolaborasi untuk bersama-sama menjadi “Juara”, bukan menjatuhkan yang lain untuk menjadi “Juara”. Kolaborasi akan melahirkan karakter Juara bukan karakter mengalahkan dan terkalahkan.

Selamat HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2 Mei 2016
Mari kita bangun kolaborasi untuk pendidikan yang lebih baik.

Makassar, 2 Mei 2016

Muhammad Ramli Rahim
Ketua Umum Pengurus Pusat
Ikatan Guru Indonesia



1 comment:

  1. Kurikulum 2013 mengusung 4 Kompetensi Inti (KI), seharusnya 6 kalau mengacu pada Core Skills dari 21st Century Learning dan Core Skills yang ketiga adalah KOLABORASI dan KOMUNIKASI, hanya sayangnya KI pada K13 tidak mengacu pada Core Skills dari 21st Century Learning

    Kalau melihat tulisan di atas, seharusnya penulis tidak menyetujui penerapan K13 dan revisinya, karena K13 justru dikembangkan atas teori kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum) : Lihat Lampiran Permendikbud No.57 Tahun 2014 Bab II D : Landasan Teoritis

    Dalam Teori kurikulum berbasis kompetensi (ompetency-based curriculum), murid harus bersaing agar dinilai lebih kompeten dari murid lain, begitu juga gurunya, harus nampak lebih kompeten dari guru lain. Oleh sebab itu score dari Uji Kompetensi Guru (UKG) itu seharusnya menentukan apakah seorang guru masih berhak mendapat tunjangan sertifikasi atau tidak ....siapa yang harus mengikuti diklat lagi, dll ... jadi semuanya bersaing atau berkompetisi

    ReplyDelete

Designed ByBlogger Templates